Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen 9: Sebut Saja Namaku Asman

Cerpen 9: Sebut Saja Namaku Asman
Sebut saja aku dengan nama Asman. Laki-laki tampan. Umur 30 tahunan. Kaya. Banyak penggemar. Tapi bodoh dalam masalah hati.

Ketampanan tidak bisa meluluhkan hati, melainkan hanya bisa memberikan pesona. Pesona pun bisa hilang jikalau secara terus-menerus dinikmati.

Setelah pulang dari Kalimantan, tepatnya 5 tahun lalu, merupakan sebuah peristiwa besar, laki-laki yang beruntung mendapatkan bongkahan emas 53 kilo gram. Iya, aku.

Namaku tersebar di mana-mana. Di Radio, TV, bahkan mulut ke mulut yang entah berpangkal dari mana. Banyak yang mengatakan, aku adalah laki-laki paling beruntung. Bekerja jadi kuli tambang emas, mengais baru 2 bulan, tiba-tiba mendapat jackpot besar berupa emas gelondongan.

Kubawa pulang emas itu. Kubersihkan. Kuraba-raba. Kusayangi seperti anak sendiri. Kemudian kusimpan di tempat aman. 5 tahun kemudian, kutampakkan emas itu dengan gegabah. Kubawa ke toko emas untuk kutukarkan dengan segepok uang.

Kenapa harus 5 tahun? Karena aku tak ingin kaya ketika namaku dikenal banyak orang. Aku takut. Aku sangat takut dengan orang yang ingin merampok emasku itu, yaitu orang yang “bahkan” berani menggorok leherku demi segelondong emas. Aku ingin semuanya mereda dulu, baru kutampakkan lagi apa yang sudah sewajarnya manusia sedari inginkan, yaitu menggapai kekayaannya lewat cara apapun.

Aku kaya. Benar-benar kaya. Ada uang miliaran di rumah kecilku. Benar-benar gila. Sebagian kumasukkan tabungan, dan sebagian lagi kuhabiskan untuk keperluan duniawi.

Pertama rumahku. Rumahku tidak boleh gubuk, karena terlalu malu dengan isi dompetku. Kubangunlah istana megah. Kubawa kontraktor rumah paling handal di Jawa, kubangun istana megah nan mewah. Cantik dipandang, apalagi dimiliki.

Kedua motorku. Aku tak punya motor, dan itu tidak boleh terjadi. Aku harus punya motor, terbaru, tercepat, dan paling mutakhir, karena terlalu malu dengan isi dompetku. Kupinang satu motor Eropa paling canggih, kubeli dengan seyakin-yakinnya, kuda besi yang harganya sampai setengah miliar, namun sama sekali tidak menggetarkan dompetku.

Ketiga, HP. Kubeli HP paling bagus, dari merek yang sering sekali dilirik, sebuah HP dengan logo Apel yang di salah satu sisinya dimakan codot.

Keempat, istri. Iya, istri. Aku belum beristri. Aku mau perempuan paling cantik di sini. Kalau bisa di tanah Jawa. Kuberi upah 20 pemuda untuk mencarikan perempuan yang benar-benar cantik. Kulitnya yang halus, sehalus kulit dompetku yang harganya puluhan juta.

Dari kedua puluh pemuda tersebut, datanglah mereka sembari membawa hasil pencarian. Dari satu pemuda ada yang membawa 3 perawan tercantik menurutnya, ada yang membawa 6, bahkan 10 perawan. Untuk satu perawan, pemuda-pemuda tersebut kuberi upah 5 juta.

Mereka banyak sekali. Berbondong-bondong datang ke istana megahku. Wajah-wajah perawan itu kupilih satu-satu, mana yang berkualitas, mana yang perlu langsung kubuang.

Dari sekitar 55 perawan, setidaknya ada 3 yang kupilih. Kutanyai satu-satu dari mereka.

“Kau, siapa manamu?” kutunjuk salah satu dari mereka.

“Irma.” Jawabnya sambil menunduk.

“Umur?”

“16 tahun.”

“Sudah pernah haid?”

“Sudah.”

“Pernah punya pacar?”

“Belum pernah.”

“Tinggal di mana?”

“Di Desa Manggar.”

“Manggar? Anaknya siapa?”

“Anaknya almarhum Wak Luban.”

“Wak Luban?” tanyaku lagi seakan tak percaya.

“Iya, Wak Luban.”

“Wak Luban yang pernah kerja di Kalimantan?”

“Iya, benar.”

Aku diam sejenak. Kemudian kutunjuk wanita di sebelahnya.

“Kalau kau, siapa namamu?”

“Aku Intan, mas.”

“Umur?”

“19 tahun.”

“Pernah punya pacar?”

“Belum, mas.”

“Rumahmu di mana?”

“Desa Jakitsari.”

“Anaknya siapa?”

“Anaknya ibu Mus, pemilik warung tembakau herbal.”

“Ibu Mus?” kudiam sejenak.

“Ibu Mus suaminya Wak Anang?” sambungku lagi.

“Iya, mas. Kok sampean tahu?”

“Berati kau putrinya almarhum Wak Anang, yang dulu juga kerja di Kalimantan?”

“Iya, mas.”

Setelah diam beberapa saat, aku tunjuk wanita terakhir yang sedari tadi juga ikut menyimak.

“Lalu, kau siapa dan tinggal di mana?”

“Aku Putri, tinggal di Manggar juga, tetangga Irma.”

“Umur.”

“Masih 12 tahun.”

“Sudah pernah haid?”

“Sudah.”

“Anaknya siapa?”

“Anaknya Wak Jailani.”

“Wak Jailani?”

“Iya, almarhum Wak Jailani, beliau meninggal 5 tahun lalu di Kalimantan.”

Setelah wawancara yang begitu singkat. Aku menyuruh mereka pulang. Kubekali di saku mereka uang tunai 25 juta untuk membalas kesalahanku kepada mereka.

Setelah kuingat-ingat. Mereka bertiga adalah perawan paling malang yang pernah aku temui. Ayah mereka, Wak Luban, Wak Anang, dan Wak Jaliani. Ketiganya adalah temanku di tambang Kalimantan.

Sebenarnya, penemu emas 5 tahun lalu adalah kami berempat. Tapi akulah yang pertama kali menyentuhnya. Jadi, aku memutuskan untuk membantai mereka.

Maaf, sebelumnya. Aku benar-benar kacau kala itu. Mereka tidak seharusnya mendapatkan musibah semacam ini. Waktu mendapatkan emas, ada satu ego yang benar-benar bangkit, yaitu keinginanku untuk kaya-raya “sendiri” dengan cara apapun.

Sekali lagi maaf.

Untuk Wak Luban, maaf telah memasukkan racun ke dalam minumanmu. Kuingat sekali bagaimana kau meneguk minuman itu dengan nafsu haus setelah menggali di tambang emas. Maaf juga kalau jasadmu tidak kukubur dengan layak.

Untuk Wak Anang, maaf telah menusukmu waktu tidur pulas. Maaf hanya bisa mengantar jasadmu ke arus sungai. Semoga daging dan tulangmu tidak dimakan ikan.

Untuk Wak Jalani, maaf seribu maaf. Mungkin sekarang kau tinggal tulang belulang. Bagaimana bisa dulu aku tega meninggalkanmu dalam keadaan mengenaskan. Kaki dan tanganmu terikat. Mulut disumpal, dan kusembunyikan tubuh bersama nyawamu di sebuah gubuk tambang tua di tengah-tengah hutan Kalimantan. Aku yakin kau sangat tersiksa. Menahan haus dan lapar berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun. 24 jam bersama malam yang gelap, tak ada cahaya apapun, kecuali kicauan burung di pagi hari dan dentuman suara ngeri dari serigala-serigala liar.

Sekali lagi maaf. Aku melakukannya dengan sengaja. Namun aku menyangkalnya dengan sengaja. Aku benar-benar merasa bahwa waktu itu, di tengah-tengah hutan Kalimantan yang begitu liar dan sepi, aku hanya perlu membunuh tiga rekan kerjaku demi sebuah kekayaan yang aku impi-impikan sedari dulu.

Wirosari, 1 Juni 2022

Post a Comment for "Cerpen 9: Sebut Saja Namaku Asman"