Cerpen 10: Menjual Kepala Anak Demi Kekayaan
“Sudah 6 bulan SPP anaknya menunggak, kasihan anaknya.”
“Iya, kasihan anaknya, gimanasih dia ini. Pantes Istrinya pergi. Ngurusin keluarga aja kayak gitu.”
Ocehan ini adalah sarapa Ojan setiap pagi. Ia harus menerima takdir bahwa keadaan ekonomi keluarganya semakin lama semakin terpuruk. Ia menjadi duda sejak istrinya pergi diam-diam. Tepatnya 3 bulan lalu, istrinya pergi tanpa pamit, dan dengar-dengar, ia ke Jakarta untuk cari suami baru, yang lebih kaya tentunya.
Ojan kerja serabutan sebagai tukang semir sepatu di pasar Senen. Ia punya anak perempuan tunggal bernama Siti, anak semata wayangnya yang menjadi hujatan tetangga setiap pagi. Karena tak kuat bayar SPP, Ojan terkadang terasa terpukul. Ia merasa bahwa uang selalu memusuhinya. Usaha semir sepatunya mulai sepi semenjak pabrik Tionghoa menemukan pembersih sepatu instan
“Bukankah itu Pak Ojan,” bisik seorang tetangga kepada tetangga di sebelahnya.
“Iya, benar. Itu kan bapak yang nggak kuat bayar SPP anaknya?” balas tetangga sebelahnya.
“Ih jeng, bukan itu aja, ternyata istrinya juga minggat!” bisik tetangga itu lagi. Mereka saling bisik membisik.
“Masak?”
“Iya. Mungkin masalah ekonomi.”
“Kasihan, ya...”
Bisikan itu ternyata menyukai Ojan. Ia tak sengaja mendengar ocehan tetangganya itu. Ia benar-benar ingin marah kala itu. Tetapi Ojan dapat menahannya. Ia sadar diri bahwa apa yang diomongkan tetangganya itu memang benar-benar fakta, bukan sebuah fitnah.
“Bapak, siti harus bayar uang SPP. SPP siti sudah menunggak 6 Bulan. Kalau tidak dilunasi hari ini, kata kepala sekolah, siti tidak boleh sekolah.”
Ojan menghela nafas, ia sempatkan mencari-cari uang di lemarinya, kali aja ada uang simpanan yang dimakan lupa. Ia merogoh-rogoh, meraba-raba sela almari, tetapi tidak ada sepeser pun uang ditemukan.
“Bapak satu minggu ini hanya dapat 3 pelanggan. Dan uangnya pun sudah bapak gunakan untuk kebutuhan makan kita.”
“Terus gimana pak? Siti malu. Kata kepala sekolah siti harus membayar SPP.”
“Sabar ya ndok, nanti tak coba carikan uang pinjaman,” ucapnya sembari menepuk pundak-pundak siti.
Ojan bingung. Ia benar-benar bingung kali ini. Ia harus segera mendapatkan uang untuk biaya sekolah anaknya. Untuk cari pinjaman saja Ojan sudah sangat malu. Sudah puluhan orang ia pinjami uang. Tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang sudah dilunasi.
Paginya, saat mangkal di Pasar Senen. Ia bertemu orang paruh baya yang iseng-iseng ngobrol soal pesugihan. Kata orang itu ada cara instan agar cepat mendapatkan uang.
Ojan sempat tidak percaya, tetapi keadaannya sekarang memancingnya untuk mengenal lebih dalam soal cari duit instan itu.
“Pak, ceritakan soal pesugihan itu. Aku penasaran. “
“Kau pasti butuh uang, ya?.” tanya laki-laki itu sambil tertawa tipis.
Ojan tak meresponnya. Ia tetap dingin dan memasang muka serius.
“Gini mas, ada dukun kondang di gunung Butak sana. Namanya Ki Jono. Kau temui dia dan tanya dia langsung. Tetapi ingat. Jangan kau bocorkan informasi ini kepada siapapun. Cukup mas aja yang tahu.”
Ojan tak menjawabnya. Tetapi mukanya mengisyaratkan terima kasih. Ia tak merespons apapun atas ucapan laki-laki itu. Tetapi omongan laki-laki itu ternyata menguatkan niat Ojan untuk pergi ke gunung butak.
Berbekal kepasrahan, ia menemui Ki Jono, salah satu dukun kondang itu.
“Mbah, saya mau tanya soal pesugihan.”
“Kau butuh Uang?”
“Iya mbah, sudah tak kuat aku menahan ocehan para tetangga. Aku ingin kaya mbah. Aku ingin membungkam mulut mereka dengan kotoran.”
“Bisa. Bisa diatur, mas. Tetapi ada syaratnya.”
“Akan kutitipkan makhluk tak kasat mata kepadamu. Ia akan membantumu mencarikan uang.”
“Baik mbah tidak papa. Yang penting aku bisa kaya.”
“Syaratnya adalah kau harus memberi makan dia.”
“Makanannya apa mbah?”
“Darah ayam cemani. Kau harus memberi makan dia setiap malam.”
“Baik mbah.”
“Kalau tidak..”
“Kalau tidak apa mbah?” Potong Ojan.
“Dia akan memakan darah orang.”
“Baik mbah. Aku akan memberi makan dia setiap hari.”
Ojan pulang dan mengamalkan segala perintah Ki Jono. Ia sesekali tapa di kamar. Mengasingkan diri dengan makhluk halus itu. Katanya mereka bercinta, makhluk itu juga perlu bercinta dengan majikannya.
Dan kata Ki Jono, makhluk itu adalah perempuan. Jadi majikannya harus siap melayaninya. Dan siap menjadi suaminya.
Di hari-hari awal siti tak curiga dengan sikap bapaknya itu. Tetapi ia mulai curiga ketika uang yang dibawa pulang bapaknya akhir-akhir ini tak masuk akal jumlahnya. Tidak mungkin dalam sehari Ojan bisa membawa uang 30 juta dari usaha semir sepatu.
Siti akhir-akhir ini juga sering melihat bapaknya pulang dari pasar membawa ayam cemani. Tetapi siti merasa ayam itu tidak pernah dimasak. Setelah disembelih ayam itu hilang entah ke mana.
Tak selang lama, Ojan dapat merambah ke Usaha lain. Ia mampu membangun toko bangunan impiannya. Rumahnya dirombak bagus. Anaknya dibelikan sepeda motor paling baru dan paling mahal. Sedangkan SPP anaknya sudah lunas, bahkan dilebihkan untuk menampar mulut kepala sekolahnya.
Siti pun akhirnya larut dalam harta. Ia sudah asyik dengan keglamoran hidupnya. Ia tak pasang curiga lagi dengan ayahnya, dan lebih memilih untuk asyik dengan apapun yang ia mau.
Sementara Ojan. Kini dia bisa sombong. Katanya, sombong adalah kewajiban jika berpotensi dapat menyumpal omongan tetangga. Ia dulu di pandang miskin, dan sekarang gentian, ia pandang miskin mereka yang memandangnya miskin dulu.
Setahun kemudian. Toko bangunannya tambah laris, bahkan sudah membuka cabang di lima kota. Rumahnya dibangun jadi empat lantai. Lantai satu untuk tamu, lantai dua untuk ruang keluarga, lantai tiga untuk ruangan pribadinya dan lantai empat untuk anak semata wayangnya, siti.
Karena segudang hartanya, tak sulit bagi Ojan memilih wanita idamannya. Ia pilih wanita paling cantik. Dia berkeyakinan bahwa hartanya dapat membeli wanita jenis dari ras atau golongan apapun.
Lengkap sudah kenikmatan hidup Ojan. Istri cantik, rumah besar, bisnis dimana-mana, mobil berceceran dan anak bahagia. Sudah bungkam pula para tetangganya. Mereka malah berbalik menyembah Ojan.
Bisnis yang menumpuk membuat waktu Ojan makin tidak beraturan. Waktu itu ia lembur untuk mengerjakan proyek bisnis properti. Dia terlalu serakah. Ia ingin jadi laki-laki terkaya di dunia. Katanya.
Ia ingin merambah ke semua bisnis. Alhasil serakahnya membuatnya lelah. Ia tertidur dari sore sampai pagi. Istrinya tak membangunkannya karena sedang pergi Parno ke acara TV sebagai model dan artis.
Ia bangun. Ia lupa sesuatu.
“Mampus, aku lupa memberi makan makhluk itu.”
Ia bergegas bangun. Ia tahu istrinya sedang pergi. Ia naik ke kamar siti. Ia mau mengecek siti apakah dia sedang di laur atau masih di rumah.
Ojan membuka pintu kamar siti. Dia kaget dan tercengang. Ia melihat siti pucat tanpa kepala.
Wirosari, 9 Juni 2022
Sumber Ilustrasi Gambar: Tribunnews
Post a Comment for "Cerpen 10: Menjual Kepala Anak Demi Kekayaan"