Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen 7: Aku Memilih Tidak Lahir

Cerpen 7: Aku Memilih Tidak Lahir
Waktu itu, aku mulai terpuruk dan berambisi untuk menghabisi ayahku sendiri. Dia adalah laki-laki ter-bangsat yang membawaku hadir di dunia ini. Tanpa dia, aku tidak lahir. Tetapi aku kecewa dilahirkan dari ayah yang super sampah itu.

Aku benar-benar menyalahkan takdir kali ini. Tuhan seakan-akan tidak adil. Teman-temanku lahir dari keluarga normal. Tetapi aku tidak. Aku terlahir dari keluarga yang tidak normal. Ibuku pelacur yang kerajaannya berangkat parno di acara-acara TV yang tidak jelas. Sedangkan ayahku adalah budak pelacur yang ia koleksikan setiap malam di kamarnya.

Mereka berdua adalah makhluk paling sampah yang pernah aku punyai. Sungguh tak sudi aku memiliki orang tua seperti mereka. Jika mereka mati pun aku juga tak sudi ikut mengurusnya.

Aku masih tidak percaya kalau dia adalah orang tuaku. Aku cari dan aku lihat beberapa kali akta kelahiranku. Aku cari-cari celah kepalsuan akta ini. Aku mengharapkan ada bukti yang menyatakan jelas kalau aku ini adalah anak temuan, anak angkat, atau anak apalah, yang penting bukan darah daging mereka. Tetapi nasib sial itu ternyata nyata. Aku tak menemukan bukti kepalsuan apapun. Akta ini asli. Dan aku asli anak mereka. “Akh, bangsat!”

Sarapanku bukanlah makanan nasi hangat masakan rumah pada umumnya. Tetapi bau alkohol yang dibawa mereka berdua dari markas pelacur. Ayahku setiap pagi pulang membawa mabuk. Celananya basah dan busuk. Mungkin bau keringat pelacur yang menggerogotinya.

Tak selang lama, ibuku juga datang. Tetapi aromanya lebih berbeda, yaitu asap rokok dan alkohol. Ya, ia adalah perokok aktif. Perempuan satu-satunya di rumahku yang merokok.

Ingin rasanya meski satu kali saja, sarapan dengan mereka sembari menyantap hidangan rumah. Tetapi lidahku telah hambar sejak lama. Aku hanya makan sesuatu yang diantarkan oleh ojol setiap pagi. Siangnya aku pesan makanan ojol lagi. Malamnya aku makan masakan ojol lagi. Ojol telah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri. Sedangkan mereka, mereka hanyalah sampah.

Pada suatu malam, ibuku begadang di tempat parno-nya. Sementara ayahku gembira kala itu. Aku curiga. Kegembiraan mereka berdua adalah sikap binatang yang tak pernah aku sangka-sangka. 

Aku berbaring di ruang tamu. Tiba-tiba ayah datang dari pintu depan, menggandeng perempuan yang umurnya setengah dari umur ayah. Mungkin umurnya sama denganku. Wanita itu memangku tangan ayah. Sedangkan tangannya merangkul perut ayah.

“cuih, pelacur sampah” gumamku dalam hati. Aku hanya menatap sebentar dan meneruskan cengkeramaku dengan hp.

Mereka masuk ke kamar ayah. Maksudku, ke kamar ibu juga. Melihat kondisi seperti ini. Aku benar-benar ingin melihat mereka lagi.  Aku melirik mereka ke kamar. Ayahku tergopoh-gopoh karena efek mabuk. Wanita setengah sadar itu membantunya tidur ke kamar. Tetapi aku benar-benar panas kali ini. Aku melihat wanita tak kunjung keluar. Ia menutup pintunya pelan-pelan. Bunyi kunci pintu membuatku ingin bangkit dan melabrak mereka berdua.

Aku berdiri sembari menatap pintu kamar ayah. Aku membayangkan ayah berduaan di kamar dengan wanita lain, tanpa sepengetahuan ibu. Aku membayangkan mereka bergejolak tanpa sadar, tanpa arah, dan tanpa batasan.

Aku pergi ke dapur mencari benda yang bisa membunuh wanita itu. Tetapi gerakku terhenti. Aku melihat pintu depan terbuka. 

Ternyata ibuku datang tergopoh-gopoh juga. Tetapi ia tidak sendiri. Ia dibantu berjalan oleh berondong gigolo langganannya.

“Bangsat. Lancang sekali laki-laki itu.”

Aku bergegas mencari parang di dapur. Aku berencana menghabisi ibu dulu sebelum mereka saling bertemu di kamar.

Aku mendekat ke ibu dan laki-laki itu. Aku simpan parang itu di belakang pinggang, aku tebaskan ke leher laki-laki itu. Ia menjerit sebentar dan tergeletak. Kedua telapak tangannya berlumuran darah,  menyumbat darah yang mengalir deras di lehernya.

Ibuku berteriak. Refleks aku tutup mulutnya agar ayah tidak mendengar. Aku menusuk perutnya. Aku menahan mulutnya agar tidak bersuara. Darah di perutnya mengalir. Ia tidak melawan karena mabuk. Aku menunggunya hingga kaku dan biru.

Aku berdiri, menatap mereka berdua kaku di depanku. Kakiku banjir darah. Darahnya masih hangat. Darahnya menjalar sampai tangan. Tubuhku penuh darah.

“Jangan takut. Ini bukan darahmu, apalagi darah dagingmu.” Gumamku dalam hati untukku sendiri.

Aku menghela nafas. Aku merasa sangat puas kali ini. Aku menatap mereka berdua terbujur kaku di depan mataku. Tetapi disudut lain. Ada laki-laki bangsat bersama pelacurnya yang harus aku tebas pula lehernya.

Mereka berdua tidak pantas hidup. Mereka berdua pantas mati seperti dua orang di depanku ini.

Perlahan-lahan aku menghampiri kamar ayah. Darah di kakiku bercak mengiringi langkahku. Darahnya tampak hitam pekat. Tampak segar dan masih hangat.

Pelan-pelan aku mengetuk pintu ayah.

“Yah! Bisa ngomong sebentar.”

Lawang pun terbuka. Ternyata wanita itu yang membukakan pintu. Pakaiannya berantakan seakan-akan terburu-buru kala memakainya.

“Ayahmu sedang tidur,” ucap wanita itu.

Aku tahu, dia belum tidur dan pura-pura tidur. Aku menatap ayah terbaring di kasurnya. Semua tubuhnya tertutup selimut sampai leher. Aku tahu, ia telanjang. Agar tidak ketahuan, ia menutupi tubuhnya dengan selimut setelah aku mengetuk-ngetuk pintunya.

Aku masuk 5 langkah ke dalam kamar. Wanita itu memberiku jalan ke dalam. Aku menutup pintunya. Aku menguncinya.

“Sedang apa kau?” tanya wanita itu.

“Diam kau pelacur!” ujarku dalam hati. Aku tidak menjawabnya. Aku menghampiri ayah. Sebelum aku dekat dengannya, wanita itu seketika berteriak melihat parang yang kusembunyikan. Ia pun juga menyadari bahwa kakiku penuh darah dan jejak darah mulai dari ruang tamu hingga ke kamar ini.

Aku tebas leher ayah. Ia kejang-kejang sembari menyumbat lehernya yang memuncratkan darah hitam yang penuh akan dosa. Kasur dan selimut putih di bawahnya pun mulai banjir darah. Wanita itu bergegas keluar. Tetapi Tuhan tidak berpihak kepadanya. Ia masih sempat aku tangkap. Dan masih sempat pula aku tusuk perutnya.

Inilah yang aku inginkan. Menusuk perut wanita. aku menyesali kelahiranku. Aku menyesali lahir dari perut seorang wanita. Aku menyesali diberi kesempatan untuk hidup.

Penyesalan itu seketika lunas. Satu rumah terlihat menawan kala itu. Darah di mana-mana. Mayat di mana-mana. Inilah keadaan yang aku impi-impikan.

Aku sempatkan memesan makan malam sama tukang ojol yang lagi lembur. Ia mengantarkannya sampai pintu. Dia kaget bukan kepalang.

“Mas, apa-apaan ini! Apa yang kamu lakukan? Apa kau sudah gila.”

Aku memberinya uang, ia menerimanya dengan kaku seperti patung. Ia seakan tak percaya melihat apa yang disuguhkan di matanya.

“Tidak papa mas. Aku akan bertanggungjawab.”

Dia membisu dan pergi. 

Aku tahu dia akan lapor polisi. 

Paginya polisi datang. Aku divonis penjara seumur hidup. Tetapi aku tak menyesal. Inilah hidup yang aku inginkan, ditakdirkan tanpa orang tua.

Post a Comment for "Cerpen 7: Aku Memilih Tidak Lahir"