Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen 6: Sebuah Keputusan yang Gila

Cerpen 6: Sebuah Keputusan yang Gila dan Mewah
Aku sebenarnya telah lama mencintai Sulastri. Tetapi orang tuaku tidak setuju kalau aku melamarnya, apalagi menikahinya. Alasan mereka sangat manusiawi “mau dibawa ke mana muka keluarga kita.

Sulastri berasal dari keluarga desa sederhana. Ibunya adalah pekerja serabutan di sawah tetangganya. Sedangkan ayahnya penarik becak di pasar Senen.

“Ibu, aku suka dengan Sulastri, dia wanita yang baik.”

Ibu menatapku kaget.

“Kesurupan apa kau? Jangan katakan hal itu lagi di depan telinga ibu. Ibu tidak mau ucapan itu keluar lagi dari mulutmu.”

Aku menunduk tak dapat menjawabnya. Dan pada saat itulah aku telah putus harapan dengan Sulastri.

Ibu memang tipikal orang yang pilih-pilih. Kakakku yang sekarang sudah berkepala tiga juga pernah menjadi korban selektifnya. Wanita yang dinikahi kakakku adalah wanita pilihan ibuku.

Pernah suatu ketika kakakku mengenalkan pacarnya ke ibuku. Tetapi beliau mengusirnya dengan kasar. Dia mengancam untuk tidak boleh menginjakkan kakinya lagi ke rumah apabila masih berhubungan dengan wanita tersebut.

Dan terpaksa, kakakku tak punya pilihan lain. Ia dijodohkan dengan wanita pilihan ibu. Parmi namanya, dia adalah anak tunggal dari saudagar kaya bernama Pakde Jono.

Beliau ada teman dekat ibu. Ia adalah salah satu pebisnis atas di daerahku. Mungkin itu alasan ibu menikahkan kakak dengan Parmi, yaitu pernikahan harta dan kecantikan. Bukan cinta, apalagi agama.

Semenjak hubunganku dengan Sulastri di tantang keras oleh ibu, aku khawatir akan bernasib sama dengan kakak, hidup dengan orang yang tidak pernah kita cintai sebelumnya.

Memang hal itu sangat tidak manusiawi, apabila orang tua menanam anaknya dalam ladang harta keturunan. Ibuku adalah salah satu contoh dari petani itu. Dan kakakku adalah contoh bibit tanaman yang dipaksa tumbuh dalam ladang hartanya.

Perjodohan merupakan realitas yang harus dihapus. Aku tidak ingin diperjodohkan dengan orang yang tidak aku cintai. Aku hanya cinta Sulastri, jadi ibu tidak berhak mengatur hubungan pribadiku.

“Besok kau akan aku kenalkan dengan Puji”

“Puji siapa? Aku tidak mau, aku hanya ingin Sulastri.”

“Kau ini! Patuhlah sama ibu! Ini demi kebaikanmu juga!” bentak ibu.

“Ibu berhak mengatur hidupku, tetapi ibu tidak berhak mengatur pilihanku”

“Kau ini anak ibu! Jadi kau harus patuh sama ibu! Titik!”

“Pokoknya aku tidak mau buk. Aku tidak akan menikahi wanita lain selain Sulastri.” paksaku.

“Kau ingin jadi anak durhaka, kah?”

Aku terdiam.

“Kau mau jadi anak durhaka?” tanyanya lagi.

Aku terdiam lagi sembari menatap matanya. Terlihat ia ingin meledak kali ini. Ini berarti aku dituntut untuk diam dari pada harus mendengar ledakannya. Aku membisu dan pergi.

Paginya, ibu memanggilku ke ruang tamu. Dia ingin memperkenalkanku dengan Pak Selamet.

“Pak, inilah anakku yang sering aku ceritakan,” ucap ibu sembari menepuk kedua pundakku.

“Le, perkenalkan, ini Pak Selamet, dan yang di sampingnya itu Puji.” Ujar ibu sembari menunjuk wanita yang duduk di sebelah Pak Selamet.

Pak Selamet mengulurkan tangannya. Itu isyarat bahwa ia dengan senang hati berkenalan denganku. Aku menjabat tangannya. Sedangkan wanita yang bernama puji itu cuma menunduk malu.

“Gini mas, ini anakku, Puji. Apakah mas mau menikah dengannya?” Tanya pak Selamet. Seketika ibuku merespons.

“Puji wanita cantik, pak. Maka tidak perlu diragukan lagi. Saya pastikan putraku tidak akan menolak. Jadi bisalah kami atur. Nanti masalah tanggal pernikahan biar orang tua saja yang bermusyawarah. Saya di sini mewakili anak saya.”

Ibu memegang erat pahaku. Itu bertanda ia menyuruhku bungkam. Aku yang pemalu, menyurutkan niat untuk lantang menentang. Aku hanya bisa pasrah mendengarkan jawabannya.

Malam pun tidak bisa menidurkanku. Bagaimana tidak, satu momen besar seorang laki-laki bisa terjadi dalam satu hari, yaitu hari pertama bertemu Puji untuk pertama kalinya dan di hari itu juga aku dijodohkan dengannya.

“Ibu bodoh!” gumamku dalam hati.

Hatiku sangat tidak karuan. Dari kecil aku sudah mencintai Sulastri. Dia adalah wanita yang baik. Wanita satu-satunya yang dapat menerima keluargaku apa adanya.

Kelihatannya aku mulai kerasukan. Atas tekanan yang ibu limpahkan kepadaku, aku benar-benar ingin melawan kali ini, bukan dengan omongan tentunya, melainkan dengan perbuatan lain yang kuanggap bisa jadi alasan yang lebih manusiawi demi menolak perjodohan ini.

Aku menemui Sulastri malam itu. Aku mengajaknya ke sebuah rumah kosong. Aku bercanda gurau dengannya dan merayunya. Aku cairkan suasana seperti biasa. Kubawa dia ke dalam dunia yang hanya diisi oleh kita berdua.

Setelah kuanggap waktu itu pas untuk menunaikan keputusan besar, maka kuledakkan seketika itu.

“Dek, aku dijodohkan dengan wanita lain.”

Dia menatapku. Mukanya seketika murung. Matanya berkaca-kaca. Kulihat matanya seperti sudah tidak memiliki harapan lagi, karena ia tahu bahwa ketentuan hidupku yang memilih adalah ibuku.

“Tidak papa, mas. Aku ikhlas. Saya juga tidak punya hak untuk melawan keputusanmu.”

“Ini bukan keputusanku, tetapi keputusan ibuku. Aku sama sekali tidak mau dengannya. Aku hanya mencintaimu, Sulastri, tidak ada yang lain.”

“Tetapi mau bagaimana lagi, mas. Ibumu sepertinya tidak suka denganku. Jadi tidak mungkin kita bisa menikah, apa lagi membangun keluarga.”

“Bisa Sulastri! Kita masih punya harapan”

“Harapan apa maksudmu, mas?”

“Kita harus melakukan itu”

“Itu apa mas?” tanya dia. Dan tidak butuh waktu lama ia memahami perkataanku.

“Tapi aku takut mas”

“Tenang! Aku akan tanggung jawab”

“Aku takut ibumu akan marah besar mas.”

“Itu hanya konsekuensi. Marah juga punya pangkalnya. Bukankah kau ingin menikah denganku juga?” bujukku lagi meyakinkannya.

“Ini adalah satu-satunya cara agar kita tetap bisa menikah meskipun lewat jalur yang tidak dibenarkan.”

Akhirnya dia mau melakukannya. Dia mau. Pecahlah sudah malam itu.

***

Empat bulan kemudian, Ayah Sulastri datang ke rumah. Saat duduk di ruang tamu, tak ada ekspresi kehangatan apalagi senyum.

“Bu, anak ibu telah menghamili anak saya.”

Ibuku kaget. Dia seperti ingin marah tetapi ia ikat dengan rapat.

“Tidak mungkin! Anakku tidak mungkin melakukannya.”

“Coba ibu tanya sama anaknya. Apakah benar ucapan saya.”

“Joko. Apa benar ucapan bapak ini? “

“Benar” jawabku dengan tegas.

“Bagaimana ini, kami meminta pertanggungjawaban. Kalau tidak, kami akan lapor polisi.”

“Kami harus bertanggungjawab?”

“Tolong nikahkan anak ibu dengan anak saya, agar tidak timbul fitnah di kemudian hari.”

“Tidak! Saya tidak mau. Saya tidak akan menikahkan anak saya dengan anak bapak.”

Seisi ruang tamu kaget.

“Tidak bisa begitu. Anak saya adalah korban. Kalau tidak mau bertanggungjawab, saya akan pakai jalu hukum.”

“Silakan!”

“Anak saya tidak memperkosa anakmu, mereka melakukan karena sama-sama mau. Jadi tidak ada yang bisa ditindak pidana di sini.” sambungnya lagi.

Bapaknya Sulastri adalah orang kecil. Tidak mungkin dia memakai kekerasan dengan keluarga kami yang terpandang.

“Lalu bagaimana ini! Anak ibu telah menghamili anak saya!”

“Mohon maaf, gugurkan saja kandungannya. Toh, umurnya masih empat bulan. Belum jadi bayi utuh.”

“Tega sekali ucapanmu itu. Mohon maaf, kami tidak mau melakukan perbuatan keji itu. Kau ini orang tua macam apa!” ucap Ayah Sulastri sembari meninggalkan rumah kami.

Sempat ia menoleh sebentar dan berkata, “Akanku sumpah keluargamu. Nasibnya akan sama seperti bayi dalam kandungan anakku.”

Sejak itu aku benar-benar sudah merasa gila. Ibu marah besar denganku. Ia menghujatku habis-habisan. Ia tetap memaksaku menikahi Puji, bukan Sulastri yang telah hamil anakku.

Dan malamnya, aku memutuskan membunuhnya agar tekanan ini benar-benar hilang di otakku. Dia mungkin ibuku, tetapi disisi lain dia adalah hewan yang menjualku kepada saudagar kaya demi ladang harta warisan.

Wirosari, 25 Mei 2022

Post a Comment for "Cerpen 6: Sebuah Keputusan yang Gila"