Cerpen 5: Hari Pertama di Pondok
Aku yang tidak pernah shalat jamaah kala itu mau tidak mau harus terpaksa ikut, karena lingkungan di sana seakan-akan membujukku agar ikut serta mengambil air wudhu dan berjamaah. Aku melihat mereka berebutan air wudhu. Mereka berjejer, mengantre, bak barisan pembagian sembako.
Setelah rakaat akhir usai, mereka tidak beranjak pergi. Hal ini sangat asing aku lihat. Sebab, waktu di rumah, hal yang biasa dilakukan setelah shalat berjamaah adalah langsung cabut tanpa wiridan dan berdoa.
Tetapi beda di sini. Tidak ada seorang pun yang langsung berdiri dan pergi. Mereka bersama-sama wiridan menirukan imam. Dan waktu itu aku terpaksa mengikuti mereka. Tentu malu jika aku berdiri sendirian sedangkan mereka semua tidak ada yang berdiri.
Aku mengikuti bacaan wirid imam yang sudah tak asing lagi ditelinga. Aku tunggu hingga berdoa. Setelah selesai, mereka serentak bubar seperti ada urusan yang mengejarnya. Mereka kembali ke kamar masing-masing. Ada yang langsung cari makan, mandi dan ada juga yang cuma rebahan sambil melepas baju.
Aku menatap mereka semua. Mereka bercanda gurau. Saling menyapa. Seakan-akan tidak ada kata rumah di pikiran mereka. Aku yang kala itu termasuk santri baru hanya bisa duduk diam sembari melihat mereka berlalu lalang.
Sepintas aku pikir bahwa tempat ini akan menemaniku selama 6 tahun. Suasana ini yang akan menemaniku selama 6 tahun. Aku sedikit cengang kala itu. Sesekali menangis di pojokkan kamar sembari pura-pura tidur agar tidak ketahuan.
Kamarnya sempit. Cuma 5 x 8 meter yang dihuni oleh 27 orang. Jika mereka semua masuk, kamar tersebut tidaklah muat. Tak ada kipas apa lagi AC. Semua serba alami. Maksudku AC-nya alami.
Kebetulan satu kamarku adalah anak-anak salaf. Yaitu orang-orang tua yang sudah dianggap sesepuh di pondok. Umurnya berkisar antara 20 sampai 30 tahun. Ada satu teman kamarku. Dia bernama Coy. Laki-laki tinggi besar berjanggut tipis. Dia adalah laki-laki yang paling disegani di kamar. Umurnya yang tua membuatnya dijuluki sesepuh kamar.
Ada juga yang bernama Koer. Dia adalah laki-laki pendek separuh baya. Dia masyhur termasuk salah satu santri yang memiliki kecerdasan tinggi. Dia merupakan senior kamar sekaligus senior kelas. Waktu anak-anak masih satu muhadarah. Kang Koer sudah masuk kelas 4 muhadarah. Yaitu kasta tertinggi dari kelas salaf.
Ada juga yang bernama kang Pin. Laki-laki tampan yang selalu bertanya tentang siapa nama kakak perempuanku. Ada juga yang bernama Sutekno. Laki-laki berjanggut lebat pendek ini memiliki perkakas paling lengkap di kamar, mulai dari gergaji, arit dan lain-lain.
Mereka semua adalah sesepuh yang unik. Meskipun wajahnya terlihat garang, tetapi mereka semua adalah laki-laki yang bijaksana. Inilah satu-satunya alasan mengapa kamarku ini paling disegani di antara kamar-kamar yang lain.
Selain kamar. Ada satu hal lagi yang membuatku jadi terkesan. Yaitu kamar mandi. Baru kali ini aku melihat lubang WC yang dibuat secara manual. Yaitu lubang yang dibuat di tengah-tengah lantai kamar mandi. Ini merupakan siksaan tersendiri bagiku.
Tetapi semua itu telah sirna. Aku menemukan sesuatu di tempat ini. Yaitu sebuah keluarga yang memiliki keragaman. Aku berteman dengan orang-orang yang domisilinya berasal dari luar Jawa. Ada yang dari Sumatra, Kalimantan, Papua, Sulawesi, bahkan hingga Malaysia.
Mereka memiliki pola pikir yang berbeda. Memiliki cara hidup yang berbeda, bahkan memiliki selera humor yang berbeda.
Tidak semua dari mereka bisa kita jadikan teman. Sebab, dalam penjara ini, manusia terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah kelompok masjid. Yaitu orang-orang yang memiliki semangat mondok yang luar biasa. Mereka lebih sering menghabiskan waktunya di masjid dan melakukan apapun yang bermanfaat seperti belajar, menghafal, mengaji, bahkan tidur.
Kelompok yang kedua adalah kelompok pawon (istilah tempat dapur di Jawa). Yaitu orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk tongkrong di pawon. Selain pawon, mereka juga lebih sering tongkrong dikamar mandi daripada tongkrong di kamar. Kelompok ini biasanya menghabiskan waktu untuk mengobrol tanpa arah sembari merokok dan ngopi.
Dan alhamdulillah, berkat doktrin baik yang diajarkan oleh senior-senior kamar, aku lebih tertarik untuk jadi anak masjidan. Aku lebih sering ke masjid daripada ke pawon atau ke belakang. Di masjid, aku bertemu dengan orang-orang yang super keren.
Ada Muhammad Nur yang menjadi wali dalam segala karomahnya. Beliau adalah satu dari satu-satunya santri yang memiliki kecerdasan tingkat tinggi, tidak pernah meninggalkan tahajud, dan tak pernah menyinggung hati temannya.
Ada juga Muhammad Sadiq, dia adalah pemuda intelek yang melek akan bahasa arab. Beliau adalah santri asal lampung yang sedari kecil telah dididik orangtuanya dengan benar.
Kedua golongan tersebutlah yang menentukan jalan hidup kita ketika mondok. Bagi mereka yang santri baru, akan dihadapkan dengan dua pilihan, antara ingin jadi anak masjidan atau anak pawon. Hal itu tergantung pada doktrin pertama yang disisipkan oleh senior-senior kamarnya.
Setiap kamar memiliki ciri khas yang berbeda. Kamarku misalnya, terkenal dengan kewibawaannya. Ada juga kamar yang isinya hanya amrot, anak-anak nakal, dan lain-lain.
Dan yang terakhir, yang membuatku terkesan adalah makanannya. Makanannya sangat murah. Ada mak roker, terkenal enak tetapi sedikit, punya produk ciken mini dan selalu istiqamah menjual pecel kering. Ada juga mak Mut, terkenal kurang enak tetapi mendapatkan banyak. Ada juga mah Lumo, murah dan enak, serta kerap kali memberikan sesuatu secara cuma-cuma.
Dan yang terakhir adalah mak tembok. Terkenal dengan masakannya yang banyak minyak, tetapi wuenak. Makanan inilah yang menemani kami dikala pagi. Tetapi siangnya, mereka akan tutup dan bubar.
Di siangnya, kita bisa merasakan nasi mak Yum, terkenal sedikit enak dan murah. Produk unggulannya adalah bakwan dan pecel kol. Dan menu paling istimewanya adalah nasi pecel telur. Yang kedua adalah mak Mut, nasinya murah dan banyak, tetapi rasanya setandar. Itulah dua mak yang menemani makan siangku.
Untuk kategori khusus, ada dua mak lagi yang menemani kita setelah pulang dari ziarah ke makam maysayikh. Pertama adalah mak Sri, terkenal murah, banyak tetapi rasanya setandar. Masakannya memiliki khas agak kehitam-hitaman. Dan yang terakhir adalah mak Dah, terkenal mahal, enak dan maliter. Dia adalah satu-satunya warung yang menjual opor ayam, rambak, bergedel, tahu isi, bandeng, lele, pindang dan ikan mangut.
Wirosari, 19 Mei 2022
Post a Comment for "Cerpen 5: Hari Pertama di Pondok "