Cerpen 4: Perempuan yang Mencari Kesempurnaan
Wajahnya sangat cantik dan menawan. Seperti anak polos, mungkin hasil didikan ibunya. Tubuhnya bersih dan terawat, tidak seperti aku. Laki-laki biasa yang tidak terlalu tampan, duduk di kursi paling depan, yang dalam undang-undang kelas menjelaskan sebuah kasta bahwa semakin belakang duduknya seseorang semakin rendah pula otaknya.
Bagiku ini kasta. Ini juga hukum alam. Aku diciptakan Tuhan dengan kecerdasan standar. Jadi tak elok jika ikut duduk di bangku paling depan, sejajar dengan Hayati yang selalu mendapatkan nilai tinggi di setiap mata pelajaran.
Konon, ia adalah wanita cantik yang belum ditaklukkan hatinya. Tetapi menurutku, ia akan lebih cocok apabila dinikahkan dengan laki-laki tampan pula, agar hikayat cintanya tertulis sempurna di memorabilia kehidupan.
Tetapi masa bodoh. Aku juga laki-laki tampan, kata ibuku. Berarti aku juga punya hak memiliki hatinya. Aku tulis sepucuk surat untuknya. Aku selipkan di sela-sela laci mejanya.
“Bidadari cantik. Maafkan aku karena mengagumimu dalam diam.”
Aku Zainuddin. Aku sudah lama memendam perasaan terhadapmu. Tetapi baru kali rasanya sudah tak bisa kupendam. Sudikah engkau memberi satu ruang kosong untuk perasaanku ini? Sebab, ini bukanlah salahku. Cinta ini datang tiba-tiba. Sedangkan mencintaimu adalah takdir. ”
Paginya, ia merogoh laci dan membaca suratku. Ia mengepal-ngepal surat itu dan kemudian membuangnya di tong sampah. Ia duduk kembali tanpa sedikitpun menoleh ke belakang. Apalagi menoleh ke arahku.
“Sial, aku ditolak,” gumamku dalam hati.
Sepulang sekolah, aku menunggunya di gerbang sekolah.
“Hayati, bisa bicara sebentar?”
Ia menoleh ke arahku. Dia terdiam. Aku berjalan menuju kelas yang sudah kosong tak berpenghuni. Ia mengikuti dari belakang.
“Hayati, soal surat itu, maafkan aku kalau menyinggung perasaanmu.”
“Kau Zainuddin?”
“Iya, masak teman satu kelas saja kamu tidak kenal?”
“Maaf ya, soal surat itu, aku tidak bisa. Orang tuaku tidak mengizinkan aku pacaran.”
“Sekali lagi maaf ya soal surat itu,” sambungnya lagi.
Dia berjalan keluar dan pulang. Aku sempatkan memotong langkahnya.
“Hayati!”
Langkahnya terhenti, ia menoleh ke arahku.
“Apakah kamu tidak pernah menyimpan perasaan terhadap laki-laki? Lalu apa jawaban atas suratku? Kenapa kau buang?”
“Menyukai laki-laki adalah perasaan yang normal. Tetapi untuk menerimanya, ada sebuah pengorbanan yang harus kamu bayar, yaitu waktu emasmu di umur muda.”
Ia mengela nafas dan meneruskan bicaranya.
“Soal jawaban surat, aku sama sekali tidak berfikir apapun. Aku menghargai perasaanmu yang kau tuangkan dalam surat itu, tetapi aku tidak bisa. Aku tidaklah Hayati yang seperti kau pikirkan.”
“Dan satu lagi, soal membuang kertas pada tempatnya, itu mungkin hal yang paling tepat daripada mengotori kelas.”
“Maksudmu kau menolakku?”
“Iya”
“Lalu bagaimana dengan perasaanku? Aku tak pernah memintanya? Perasaan ini tiba-tiba datang? Bagaimana nasib selanjutnya?” bujukku kepadanya.
Dia terdiam. Aku membujuknya lagi.
“Aku menyukaimu karena takdir Hayati, bukan soal kecantikan, apa lagi kekayaan. Ini adalah perasaan alami ciptaan Tuhan.”
“Kenapa kau menolakku? Apa aku kurang tampan. Atau mungkin aku benar-benar kurang tampan bagimu?”
“Wanita karir seperti apa yang kau maksud?”
“Aku ingin meraih cita-citaku, aku ingin berkarir, baru kemudian memikirkan asmara. Bagiku, ini bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan hal-hal yang tidak penting.”
“Maksudmu semua ini tidak penting? Suratku tidak penting? Perasaanku tidak penting?”
“Bukan begitu. Aku menghargai semua itu. Tetapi kau tahu, kan? Ada sebuah prioritas yang harus kamu pilih untuk menjalani masa depan. Kewajiban kita adalah belajar, bukan pacaran. Pacaran adalah aktivitas omong kosong.”
“Apa? Kau anggap cintaku ini omong kosong?”
Ucapku sambil menunjuk ke arah mukanya. Tetapi dia membalasnya dengan senyum.
“Kalau untuk sekarang cintamu adalah omong kosong. Cinta apa yang ingin kau harapkan dariku?”
Aku terdiam terpaku terbisu dan buntu.
“Kau ingin aku menjadi pacarmu? Menikmati rayuanmu setiap malam? Menerima teleponmu setiap malam? Membalas chat-mu setiap malam? Benar? Cinta seperti itu yang kau harapkan?”
Dia meneruskan bicaranya sembari tersenyum.
“Apakah kamu tega denganku? Melakukan hal-hal tersebut setiap malam? Asal kau tahu. Aku ini pelajar dan butuh belajar. Aku tidak rela hidupku kau jajah dan waktuku kau rampas demi memenuhi cinta omong kosongmu.”
Siang itu termakan sepi. Anak-anak yang berlalu-lalang mulai sepi. Seketika hening. Dia perlahan-lahan meninggalkanku. Aku melihatnya tanpa mengejarnya. Sebab, aku tahu diri. Aku bukan siapa-siapanya. Mungkin, itulah yang dinamakan wanita sejati.
“Hayati, kau memang wanita idaman,” gumamku dalam hati.
Paginya, aku memberinya surat.
“Hayati, terima kasih atas semuanya. Meskipun engkau menolakku, kelak dewasa nanti apakah aku bisa menjadi suamimu. Kumohon kau sudi membalasku dengan surat.”
Aku memberanikan diri untuk menghajarnya. Kutulis surat ini dengan ringkas dan jelas. Aku beranikan diri untuk lancang, demi mendapatkan seuntai jawaban surat darinya.
“Maaf Zainuddin, aku tidak bisa, aku ingin menjadi wanita karir dulu. Untuk menjadi suamimu kelihatannya juga tidak mungkin. Aku perhatikan, kau ini tidak serius belajar. Bagaimana kurirmu nanti kelak kalau hidupmu saja seperti ini?”
Setelah membaca suratnya, aku mulai bisa menilai, bahwa dia adalah wanita yang benar-benar perhitungan dan penuh dengan visi misi.
Sejak saat itu aku tidak pernah kontak dengan dia lagi. Tahun demi tahun sudah, ada sebuah hari di mana kita berdua dipertemukan kembali. Aku yang dulu malas belajar, ternyata malah diberi kesempatan untuk menjalankan amanah bisnis rumah makan.
Aku menikah dengan Ramini, teman sekelasku dulu. Aku memiliki rumah sendiri. Punya mobil. Punya dua anak yang sangat menggemaskan. Hidupku benar-benar tercukupi oleh keadaan.
****
Aku bertemu dengan Hayati di sebuah acara resepsi pernikahan temanku. Aku bersama istriku berjalan ke arah tempat makan. Di salah satu meja prasmanan, aku melihatnya berdiri sembari memberikan satu mangkok soto pada setiap orang yang berlalu-lalang di depannya.
“Itukah Hayati? Bukankah dia ingin jadi wanita berkarir?” tanyaku dalam hati.
Aku menarik tangan istriku dan mengajaknya ke tempat ia berjaga.
“Hayati! Masih ingat aku?” sapaku kepadanya.
Dia menoleh ke arahku, terpaku sembari mengingat namaku di memorinya kepalanya.
“Zainuddin?”
“Iya, bagaimana kabarmu? O ya, perkenalkan, ini istriku” Aku merangkul istriku sembari memperkenalkan kepadanya.
“Sekarang apa kesibukanmu?” Ujarnya.
“Aku punya warung makan kecil-kecilan di Jakarta. Dan Alhamdulillah ada dua cabang lagi di Surabaya.”
“Bukannya dulu kamu ingin jadi pelukis?”
“Itu dulu, sekarang tidak. O ya, ngomong-ngomong, kesibukanmu sekarang apa?”
Dia tertunduk malu.
“Aku salah satu pekerja borongan di sini. Ya seperti apa yang kau lihat. Ini berkat kesalahanku dulu, terlalu berambisi untuk menjadi wanita karir yang terbaik, dan mendapatkan seseorang yang paling baik.”
“Apa kau sudah menikah?” kupotong ucapannya.
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sudah punya calon?”
Dia menggeleng-gelengkan kepala.
Aku menghela nafas.
“Ternyata kau masih sama. Tak berubah. Begitu juga dengan sikapmu. Berlatihlah hidup dengan orang yang berkekurangan. Agar kau mendapatkan jawaban atas segala permasalahanmu itu.”
Dia terdiam. Aku dan istriku pergi. Kami tak mengucapkan sepatah kata setelah obrolan tadi.
12/05/2022
Post a Comment for "Cerpen 4: Perempuan yang Mencari Kesempurnaan"