Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen 3: Seorang Santri yang Kelaparan

Cerpen 3: Seorang Santri yang Kelaparan
Sebagai seorang santri, kehabisan uang merupakan menu sarapan pagi. Tetapi hari ini beda. Aku benar-benar tidak memiliki uang sama sekali untuk makan. Aku tahu aku ini pemalu. Tidak berani utang kepada santri lain karena terkesan memberatkan. Setiap santri memiliki jatah masing-masing, apabila aku meminjam uang kepadanya kekhawatiranku adalah memberatkannya atau bahkan seperti mengambil jatah uang makannya.

Kerap kali aku memutuskan untuk tidak utang kepada siapapun. Aku yakin bahwa tuhan tidak mungkin membiarkan aku kelaparan. Di hari pertama, aku melihat santri-santri lain membawa satu nasi bungkus sarapan yang dibungkus dengan koran dan karet. Nasi itu adalah bayaran lapar yang mereka tahan setiap malam. Akibat padatnya kegiatan hingga malam membuat mereka sering merasa lapar dan terpaksa harus menunggu nasi hangat ketika pagi.

Saat itu aku sadar. Hari ini aku tidak bisa membeli sarapan karena tidak punya uang. Aku tahan, dan aku pura-pura sehat layaknya orang yang sudah sarapan. Untuk mengganjal perut kosong, aku biasanya meminum air dua gelas. 

Setelah mereka sarapan dan aku pura-pura sudah sarapan, para santri biasanya akan berangkat sekolah dengan perut kenyang, tetapi aku tidak, perutku kosong. Aku hanya pasrah dan menjalankan aktivitas belajar seperti biasa.

Sepulang sekolah, tubuhku mulai lemas. Kali ini aku benar-benar butuh sarapan. Aku butuh sesuatu untuk mengganjal perutku. Akhirnya aku memutuskan untuk minum air lagi dan lagi. Kebetulan air minum di pondok gratis. Kali ini aku pulang terlambat karena malu terlihat lemas dan belum makan.

Saat melewati kantor sekolahan, ada dua bungkus nasi kucing yang akan dibuang oleh tukang bersih-bersih. Nasi itu adalah jatah sarapan para guru sekolahku pagi tadi. Karena mereka tidak memakannya, biasanya si tukang bersih-bersih sekolah itu akan membuangnya. 

Aku menatap nasi itu di atas kusen jendela sekolahan. Aku bertanya kepada tukang bersih-bersih itu.

“Pak apakah nasi ini mau di buang?”

Dia menoleh kepadaku sembari membersihkan telapak meja para guru.

“Ambil saja kang..”

Ucapan pak tukang itu seolah-olah telah sudah tahu apa maksudku. Cara bicaranya seperti telah terbiasa dengan hal semacam ini, ia terlihat sering mengasihkan nasi bungkus kepada santri-santri yang kelaparan, termasuk aku.

Aku mengambil nasi itu gembira riang. Tetapi nasi tersebut bukanlah nasi premium seperti nasi rames, nasi pecel, apa lagi nasi padang. Nasi tersebut hanyalah sekepal porsi kucing yang ditaburi mie kering yang hambar. Sama sekali tidak enak. Itulah alasan kenapa para guru sering tidak memakannya.

Aku membuka bungkusnya. Aku cium baunya apakah masih layak dimakan atau tidak. Dan alhamdulillah, aku bersyukur, ternyata nasinya hampir basi. Masih bisa dimakan karena belum sepenuhnya basi.

Itu adalah nasi terenak yang pernah aku makan, meskipun agak sedikit sepet kecut karena hampir basi, aku tetap memakannya dengan lahap. Setelah selesai makan, aku membuang bungkusnya di tong sampah. Aku pulang lagi ke pondok tanpa lapar.

Sore hingga malam, aku tidak menemukan celah untuk makan. Ternyata keadaan tidak berpihak kepadaku, rasa lapar memanggil-manggil lagi. Kuputuskan untuk minum 3 gelas air meredam rasa lapar, lalu aku tidur dini agar rasa lapar tidak menjadi-jadi.

Paginya, perutku terasa perih. Ternyata perutku ingin menghakimi kekosongannya dari tadi malam. Aku hanya duduk di depan kamar, melihat para santri berseliweran membawa bungkusan nasi. Aku hanya bisa menelan ludah, sesekali ada kang santri yang menawarkan sarapan kepadaku. Tetapi apalah dayku, ini bukanlah maksud sesungguhnya. Mereka menawarkan hanya untuk adat kesopanan sesama santri. Di dalam hati mereka tetaplah ingin makan sendiri, karena itu jatah sarapannya sendiri, karena itu uangnya sendiri.

“Kang sarapan!”

“Oh iya kang, silakan, dinikmati saja!” ucapku dalam mulut, bukan dalam hati.

Sapaan seperti ini sangatlah singkat. Kami tidak mungkin mengobrol sana sini. Mereka akan tetap memilih pergi dan mencari tempat untuk menyantap sarapannya dari pada membuka karet nasinya di depanku. Itulah adat.

Rasa lapar ini ternyata membuat gerakan tubuh berubah total. Aku membatasi setiap gerakan yang membaut perutku terguncang sakit. Agar tidak terlihat lemas, aku sempatkan diri bernyanyi-nyanyi lirih agar terlihat seperti santri normal pada umumnya. Aku tidak mau santri-santri lain menyadari bahwa aku saat ini sedang kelaparan.

Aku bergegas berangkat sekolah dan seperti biasa, melaksanakan belajar sembari ditemani perut kosong. Aku berharap jarum jam bisa secepat mungkin menunjuk ke arah angka satu, agar aku bisa pulang dan melihat nasi bungkus lagi di jendela kantor.

Saat aku pulang, aku melihat 4 bungkus nasi di jendela kantor. Aku tanya lagi pak tukang bersih-bersih itu.

“Pak, nasi ini apakah boleh saya bawa?”

“Iya kang ambil saja” jawabnya singkat sembari meneruskan pekerjaannya. 

Aku pun gembira sekali bisa membawa 4 bungkus nasi itu. Sempat aku tak berfikir untuk tidak serakah. Aku akan memakan 2 bungkus saja dan 2 bungkus yang lain rencananya akan kumakan di malam hari agar tidak kelaparan. Tetapi hal itu tidak mungkin. Nasi ini adalah sisa sarapan guru, jadi tak mungkin bisa bertahan sampai malam.

Terpaksa aku harus memakannya semua. Tetapi saat aku buka bungkusnya, ternyata mie yang digunakan adalah mie hun atau mie putih. Dan baunya menyengat karena telah basi.  Tetapi bau tak sedap itu terbungkam oleh perut. Aku membuang mie basinya dan memakan nasinya saja.

4 bungkus nasi itu alhamdulillah dapat menemani perutku hingga pagi. Aku tidak merasa lapar dari sore sampai malam. 

Di hari ketiga. Aku sudah kebal dengan bau bungkus sarapan pagi para santri yang berlalu lalang. Aku hanya bisa mengharapkan nasi jendela kantor, bukan mengharapkan mereka menawarkan nasinya kepadaku. Karena aku sudah hafal, ucapan mereka hanyalah di mulut, bukan niat untuk berbagi.

Setelah pulang sekolah, aku tidak melihat satu bungkus nasi pun di jendela kantor. Aku melihat pak tukang bersih-bersih. Ia membereskan sisa-sisa bungkusan nasi dari meja guru. Tak tampak satu bungkus pun nasi yang utuh, semuanya telah menjadi sampah. Itu bertanda lauk sarapan guru pagi ini enak. 

Aku pulang dengan rasa kecewa. Tak luput pula dengan rasa lapar. Seketika itu aku benar-benar bingung. Sempat aku ingin berhutang, tetapi rasa maluku ini ternyata masih kuat. Aku memutuskan untuk tidur, tidur, dan memperbanyak tidur. Karena aku yakin, 24 jam ini aku tidak makan.

Ketika lapar menarik insomniaku, aku tekan perutku dengan air. Aku minum berkali-kali tanpa henti agar rasa lapar ini tak mengganggu tidurku. Aku hanya ingin tidur sampai hari esok tiba. Aku tidak mengharapkan apa pun, kebahagiaan apa pun, kepuasan apa pun,  kecuali sisa nasi guru di jendela.

Post a Comment for "Cerpen 3: Seorang Santri yang Kelaparan"