Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen 2: Menikah itu Tak Perlu Cinta!

Menikah itu Tak Perlu Cinta!
Pada sebuah siang, aku menyempatkan duduk di teras rumah. Aku menatap secangkir kopi di atas meja. Ini adalah kopi buatan istriku. Hitam pekatnya kopi tersebut mengingatkanku pada sebuah kisah, bahwa ada hikayat romansa indah dibalik secangkir kopi ini.

Nenekku nikah di usia 14 tahun. Di masa itu, ia dipaksa menikah dengan laki-laki berusia 21 tahun. Amat beda jauh umur mereka, tetapi inilah budaya nenek moyang kita dulu.

Nikah muda adalah hal yang sangat lumrah, bahkan telah menjadi adat atau tradisi turun-menurun. Anak perempuan di usia 9 tahun telah dianggap dewasa. Sebab, ia sudah layak membuatkan kopi untuk suaminya, sudah layak pula membuatkan sarapan suaminya.

Nenek berasal dari keluarga miskin. Ayahnya menjual garam, yang harus memikul sejauh 20 km menuju pasar setiap pagi. Sedangkan ibunya cuma serabutan di rumah. Nenek kala itu masih kecil, Sutiyem namanya.

“Ndok, kamu akan saya jodohkan dengan Sujirun, pemuda wibawa yang baru-baru ini jadi moden muda.”

“Nggak mau buk, Sutiyem masih kecil. Lagian aku nggak suka dengannya.”

“Ndok, rasa suka itu terlahir dari cinta, cinta itu dibangun ketika telah menikah, bukan dibangun sebelum menikah.”

Atas desakan keluarga, akhirnya Sutiyem dengan berat hati menerima lamaran Soejirun. Mereka akhirnya menikah dan diberkati 2 anak perempuan cantik-cantik, dan salah satu perempuan itu adalah ibuku.

Aku masih duduk di teras sembari melihat kopi itu. Sesekali aku berfikir, mengapa sebuah pernikahan harus diadakan ketika mereka tidak saling mencintai? Bukankah kebahagiaan pernikahan akan lahir apabila mereka saling suka, saling cinta, dan saling mengenal satu sama lain.

Berbeda dengan nenekku. Sutiyem sampai detik ini masih mengaku bahwa dia benar-benar tidak mencintai Soejirun. Sedangkan kakekku, ia benar-benar tidak tertarik dengan masalah cinta. Beliau tidak menggubris sama sekali perasaan nenek.

Sampai sekarang, mereka tidak pernah satu kamar. Alasannya cukup sederhana, nenek tidak tahan dengan suara dengkuran kakek ketika tidur. Apa lagi ketika bersin, dentuman tersebut terkenal masyhur bisa membangunkan seisi rumah.

Kuambil kopi di atas meja, sesekali aku seruput beberapa mili cairan hitam manis di dalamnya. “Apakah mereka berpuluh-puluh tahun menjalani keluarga tanpa rasa cinta?” ujarku dalam hati.

Aku sempatkan bertanya kepada kakek, kenapa dia bisa bertahan dengan istri seperti nenek. Tetapi beliau tidak menjawabnya. Ia hanya terdiam dan senyum-senyum. Memang itulah sifat kakek. Beliau adalah sosok yang paling disegani di desa. Sudah masyhur dipandang polos, tidak neko-neko.

Aku sempat curiga mengapa dia tidak pernah jamaah di masjid. Alasannya cukup simpel. Kalau ia shalat di masjid, maka nenek akan shalat sendirian di rumah. Jadi ia putuskan untuk shalat jamaah di rumah dari pada jamaah di masjid.

Kakek tidak pernah marah dengan nenek. Kecuali apabila tidak ada kopi di mejanya. Ya, nenek diwajibkan membuat kopi hitam untuk kakek setiap hari. Jika tidak, kakek akan marah besar. Bagi kakek, kopi adalah bensin kehidupannya. 

Sebaliknya. Untuk makan, kakek tidak pernah pilih-pilih, ia akan menerima makanan apapun yang dimasakkan oleh nenek, meskipun hanya nasi putih sekalipun. Kakek tidak pernah marah perihal lauk, sayur keasinan, sayur hambar, dan lain-lain. Kakek adalah orang yang paling menerima apapun rezeki yang diberikan kepadanya. Sebagaimana kata pepatah, “nerimo ing pandum.”

Dari sini saya berfikir. Cinta dalam rumah tangga bukanlah satu-satunya prioritas dalam menjalin hubungan keluarga. Justru yang lebih utama dan paling utama adalah menerima keadaan apapun itu, termasuk kekurangan, kelebihan, ketidakcocokan, dan lain-lain.

Kakek tidak pernah mengharapkan cinta dari nenek. Memutuskan hidup seperti demikian adalah salah satu bentuk patuh terhadap orang tuanya mereka. Memang benar. Patuh terhadap orang tua adalah prioritas. Menerima perjodohan sama saja patuh dengan keputusan mereka. Dan berkah patuh adalah keberkahan pula bagi keluarganya kelak.

Mereka dapat bertahan tanpa cinta karena masih memiliki rasa saling menerima satu sama lain. Untuk usia seperti kakek nenek, hal yang paling prioritas dalam hubungan umum pernikahan akan berubah total. Menurut mereka, pernikahan bukanlah soal glamoritas, ketampanan, atau kecantikan, tetapi masalah hati.

Menurut mereka, saling menerima merupakan bagian dari cinta, tetapi tidak semua cinta dapat saling menerima. Itulah asal muasal dari seluruh musabab perpecahan dalam keluarga. Mereka tidak saling menerima. Modal cinta saja tidaklah cukup.

Tak terasa sudah 1 jam aku ditemani kopi. Siang pergi tanpa pamit, senja datang tanpa salam. Aku masih duduk di teras sembari memandangi kopi itu. Kopi buatan istriku. Bagiku, segelas kopi ini mungkin dapat berpotensi melanggengkan hubunganku dengan istri. Aku cukup modal bersyukur, merasakan kopi ini tanpa mengeluh apakah kebanyakan gula, hambar, atau bahkan istriku lupa mengasih gula.

Mungkin inilah salah satu jawaban bahagia dalam keluarga. Setiap kita menerima apapun, kita akan mendapatkan kepuasan batin. Bersyukurlah ketika bahagia, bersabarlah ketika tidak bahagia. 

Sempat aku bermimpi jadi manusia glamor, kaya, terpandang dengan semua kegemilangannya. Tetapi semua mimpi itu akhirnya bungkam. Mimpi itu terbungkam dengan senja di sore ini. “Akhh..aku terlalu berlebihan. Kenapa aku serakah sekali?” ujarku dalam hati.

Tiba-tiba istriku datang dari depan pintu, “Mas, yuk shalat Ashar.” ucapnya sambil memegang rukuh.

Aku menoleh ke arahnya sembari tersenyum. Mungkin itu mimpiku sekarang. Aku hanya ingin tersenyum. Aku hanya ingin merasa bahagia dengannya senja itu.

Post a Comment for "Cerpen 2: Menikah itu Tak Perlu Cinta!"