Pengalihfungsian Tugas Laporan PPL Untuk Kepentingan Akreditasi Kampus
Canda Bawang...
Saya ingin bercerita sedikit tentang pengalaman PPL kami di salah satu KUA di Jawa Tengah. Padahal dari semester awal kami belum pernah dibekali dengan mata kuliah ke-KUA-an. Keputusan ini terpaksa direalisasikan oleh kampus mengingat lokasi PPL 'yang sebenarnya', yaitu di Pengadilan Agama belum bisa menerima peserta PPL dikarenakan Covid 19.
Singkat cerita, kami yang satu kelas hanya sekitar belasan orang ditempatkan selama 20 hari di KUA untuk mencari pengalaman kerja, mencari jati diri, serta mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan dunia per-KUA-an.
Tentu di awal-awal bukan hal yang mudah bagi kami. Mempelajari hal baru yang belum pernah kami terima ilmu fundamentalnya. Alhasil, semuanya harus dipelajari dari NOL. Mulai dari pengenalan tupoksi KUA, pernikahan, per-wakafan, permasjidan, penyuluhan, dan masih banyak lagi.
Dan Alhamdulillah, semua dipermudah oleh Allah Swt.
Ternyata kegiatan di KUA tidak begitu sulit dan rumit. Di awal-awal masuk, kami sudah bisa menyesuaikan diri dengan para karyawan tetap. Mereka dengan mudahnya mengajarkan tugas-tugas KUA kepada kami.
Mungkin sekitar 3-4 hari kami sudah bisa menggantikan 100% tugas-tugas karyawan KUA, seperti pelayanan legalisasi, pembuatan surat-suratan, pendaftaran pernikahan online, penyuluhan catin, penjilidan arsip, bahkan bermain pingpong dan catur.
"Pingpong dan catur?"
Ya benar, Anda tidak salah baca.
Saking santainya pekerjaan di KUA, kami malah jadi keseringan bermain bola pingpong dan catur sembari menunggu tamu-tamu yang memiliki kepentingan di KUA.
Sesekali kami juga menyempatkan diri untuk ngopi, berbincang-bincang di halaman belakang KUA, dan melakukan aktivitas di luar tugas KUA. Dan hal itu wajar karena kegiatan KUA memang tidak menuntut kami untuk sibuk.
Singkat cerita lagi, acara paripurna pun akhirnya datang. Kami mengadakan perpisahan kecil-kecilan di salah satu rumah makan setelah 20 hari kerja. Hal itu menandakan bahwa masa bakti PPL kami di KUA telah usai.
Penulis secara substansial ingin menyampaikan 'ilmu' atau 'pengalaman' apa saja yang didapat dari kegiatan PPL ini:
- menguasai pendaftaran nikah secara online;
- bimbingan kepada catin (calon pengantin);
- mencetak buku dan akta nikah;
- menjilid arsip menggunakan mesin bor;
- legalisasi;
- melihat langsung prosesi akad nikah di lapangan;
- bermain bola pingpong;
- bermain catur; dan
- pengalaman mencicipi nikmatnya kopi Kalisari.
Itulah keseluruhan ilmu dan pengalaman yang kami dapatkan selama PPL di KUA. Tidak banyak memang, tetapi cukup berbobot.
Lazimnya, setelah pelaksanaan PPL, tanggung jawab yang harus dikerjakan berikutnya adalah membuat laporan. Menurut KBBI, laporan adalah segala sesuatu yang dilaporkan.
Artinya, kami ditugaskan membuat laporan atas segala perilaku 'termasuk dosa-dosa kami' di kantor KUA selama 20 hari, seperti kebiasaan melirik catin-catin muda misalnya.
Tetapi Alhamdulillah, hal itu dapat diminimalisir mengingat para catin yang mampir ke KUA kebanyakan berhijab dan memakai masker. Style tersebut 11-12 dengan pakaian wanita bercadar, karena 'secara sekilas' yang diperlihatkan hanya kedua matanya saja.
Maaf, canda ya gan...
Jujur, kami juga kebingungan waktu itu. Buku panduan laporan yang diberikan kepada kami ternyata masih kurang relevan dengan kegiatan kami selama di KUA, jadi bisa dinilai kurang membantu, atau bahkan tidak berguna sama sekali.
Kenapa tidak berguna?
Karena ternyata yang diinginkan pihak kampus bukan laporan, tetapi penelitian yang mengerucutkan ke arah skripsi. Lantas apa gunanya buku panduan laporan?
Wallahu A'lam, hanya Allah yang lebih tahu...
Tugas penelitian ini sebenarnya sudah pernah disinggung sewaktu pembekalan sebelum PPL. Mereka (pihak kampus) memang secara terang membutuhkan arsip penelitian untuk keperluan akreditasi.
Menurut perspektif akademik, hal itu memang diperbolehkan. Tetapi pihak kampus seharusnya melihat keadaan mahasiswanya juga ketika di lapangan.
Kami yang di KUA jujur tidak pernah menjumpai prosedur KUA yang mengandung problematik. Kalau toh ada, mungkin hanya dalam permasalahan receh, seperti printer rusak, bola pingpong yang rusak karena terinjak, nomor arsip tidak urut, dan sejenisnya.
Kalau toh ada masalah besar yang menyangkut kepentingan keluarga atau masyarakat, hal itu tentu mustahil bisa diteliti hanya dalam 20 hari, apalagi kalau peserta PPL-nya juga sedang hamil tua kemudian izin di tengah-tengah masa khidmah.
Maaf, canda mbak...
Menurut hemat penulis, hal ini sedikit berlebihan. Setelah melakukan observasi sekala kelas, penulis menemukan data valid bahwa 100% dari belasan mahasiswa mengalami kesulitan, dalam hal apapun, baik dalam memahami pemandunya, bahan-bahannya, dan prosedur pembuatannya.
Bahkan ada sekitar 30% yang angkat tangan. Artinya, mereka memasrahkan semunya kepada Allah Swt.
Semoga Allah memberi mereka ketabahan, amin.
Dan yang terakhir, kami berpesan kepada pihak yang terkait, tolong, sekali lagi tolong, jangan menyiksa otak mereka dengan tugas yang tidak efektif dan sangat sia-sia hanya demi kepentingan akreditasi.
Adalah pengandaian yang mustahil membebankan penelitian semi-skripsi kepada mahasiswa yang masih prematur dalam mengonsumsi bahan penelitiannya. Kalau toh bisa, 20 hari melakukan observasi tanpa adanya pembimbing yang layak adalah hal yang tidak manusiawi.
Toh, Anda sebagai pihak kampus juga tahu, kalau keadaan dan kepentingan tetap memaksa, mereka akan mencuri kekayaan intelektual dari Google. Artinya, 100% penelitian yang mereka buat berasal dari mbah Google, termasuk racikan-racikan palsunya.
Post a Comment for "Pengalihfungsian Tugas Laporan PPL Untuk Kepentingan Akreditasi Kampus"