Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen 11: Seorang Laki-laki yang Berjalan ke Selatan

Cerpen 11: Seorang Laki-laki yang Berjalan ke  Selatan
Seorang laki-laki berjalan ke arah selatan menuju rumah kekasihnya. Wajahnya tersenyum. Dadanya gagah. Pd. Semua yang ada padanya memancarkan keperkasaan dan keindahan. Ia seakan sangat bangga dengan apa yang ia miliki sekarang.

Sesampainya di depan rumah putih, ia bergegas masuk tanpa mengucapkan salam.

“Ayang, tak tunggu dari tadi lo, kok baru datang sih?” tanya seorang perempuan yang sedang duduk di sofa sembari merapikan kaku-kakunya.

“Maaf yang, banyak pekerjaan di kantor, tadi istriku juga titip pisang keju sekalian, jadi tidak masalah kalau tadi sekalian mampir ke warung Bu Titik sebentar.”

Ia menoleh ke arah wanita itu sembari meletakkan salah satu plastik pisang keju yang ia bawa.

“Aku beli dua. Yang satu buat kamu.”

Wanita itu menoleh ke plastik itu.

“Makasih”

Ucapnya singkat. Tanpa ekspresi.

Melihat mimik wanita itu, laki-laki itu pun mendekat dan merayu.

“Kamu mau apa sih, kok cemberut terus?”

“Aku mau steak.”

“Steak?”

“Ya!”

“Steak sapi maksudmu?”

“Steak babi”

“An**g! Kamu kan muslim. Kok babi?”

“Masa bodoh! Namanya juga ingin. Ingin ya ingin.”

Laki-laki itu terdiam. Tiba-tiba senyum tipis keluar dari bibirnya.

“Kukasih uang, nanti kau beli sendiri, ya?”

Wanita itu melirik. Tiba-tiba sebuah pelukan hangat dari wanita itu menubruk tubuh laki-laki itu.

“Makasih ya, Ayang!!!”

Mereka tersenyum beberapa detik. Laki-laki itu paham, harga dari senyuman wanita itu setara sepotong daging babi.

 Setelah beberapa saat, suasana pun hening. Keduanya lambat laut mengeluarkan aura serius.

“Ayang!”

“Ya?”

“Ayang!!!”

“Iyaaa!!!!”

“Ayaaaang!!!!, liat sini dong!!!”

Laki-laki itu pecah fokusnya. Hp yang sedari tadi membuatnya terpaku akhirnya tumbang.

“Ada apa?”

“Kapan kau akan nikahi aku?”

Laki-laki itu diam sejenak. Ia menghela nafas.

“Tunggu sampai istriku melahirkan dulu, nanti kalau keadaannya sudah membaik dan stabil, pasti kau kunikahi.”

“Janji!?”

“Iya, janji!”

Wanita itu menidurkan kepalanya di paha laki-laki itu.

“Ngomong-ngomong, kapan istrimu melahirkan?”

“Hmm...mungkin sekitar dua bulan lagi.”

“Berarti setelah dua bulan, kita nikah?”

“Mungkin”

“Kok mungkin?”

“Kan, belum tahu nantinya. Bagaimana keadaan anakku, bagaimana keadaan istriku!”

“Kamu lebih cinta aku apa istrimu sih?”

Mereka semakin serius.

“Kok pertanyaan begitu, sih?”

“Lagian, akhir-akhir ini sering kali kau sebut nama istri, istri, dan istrimu itu.”

“Kamu kenapa sih? Kok jadi posesif begitu?”

Wanita itu merayu. Suaranya diperhalus, tangannya mengusap-usap pipi laki-laki itu.

“Aku capek. Yang, harus jadi bayang-bayang begini. Aku mau hubungan kita lebih dari ini.”

Laki-laki itu mendekap tangan wanita itu.

“Aku janji, setelah urusan rumah kembali normal, aku akan menikahimu. Kamu terlalu cantik untuk tidak dicintai.”

“Gombal!” ucap wanita itu meringis.

“Aku mau kalau ucapanmu tidak sebatas ucapan. Aku mau kau membuktikan kepadaku bahwa kau benar-benar serius dengan hubungan ini. Sebab, aku telah mengorbankan segalanya kepadamu, termasuk waktuku, masa mudaku, kecantikanku, dan masih banyak lagi.”

“Lalu kau mau aku membuktikan apa?”

“Aku mau jam tangan yang waktu itu kau janjikan kepadaku.”

“Jam tangan?”

“Iya, jam tagan yang kau janjikan waktu kau merenggut keperawananku.”

Laki-laki itu diam.

“Jam itu tidak murah!”

“Aku tahu!” potong wanita itu.

“Kau pikir harga jam tangan itu sepadan dengan apa yang telah kau rampas dariku? Coba kau pikir!?”

“Kau cinta aku, kan?” tegas wanita itu.

“Jawab, yang. Kau cinta aku, kan?”

Laki-laki itu terdiam.

Tiba-tiba wanita itu mengecup bibir laki-laki itu kemudian berbisik-bisik.

“Kuharap besok siang jam itu sudah ada di meja kamarku. Akan kupersembahkan hadiah lain untuk menebusnya.”

Laki-laki itu pulang. Tubuhnya panas dingin. Sesampai di rumah, ia mengecek saldo tabungan. Ia buka beberapa laci aset-asetnya. Ia total-total, jumlahnya hanya sekitar 120 juta, jumlah yang belum cukup untuk membeli jam 150 juta yang diinginkan wanita itu.

Ia masuk kamar istri. Menatap istrinya yang sedang linglung melihat kebingungannya yang mulai brutal.

“Ada apa, mas? Kenapa kamu seperti orang kebingungan?”

“Aku pinjam tabunganmu sebentar, nanti awal bulan kukembalikan.”

“Apa maksudmu? Tabungan itu untuk biaya lahiran anak kita nanti.”

Laki-laki itu mengambil tabungan di laci almari pakaian istrinya. Ia tidak menoleh sedikit pun ke arah istrinya yang sedang berbaring di kasur.

“Buat apa uang itu, mas?”

Laki-laki itu tidak menjawab. Ia cukup sibuk mencari dan kemudian keluar setelah mendapatkan apa yang ia cari.

Singkat cerita, ia mendapatkan uang sebagaimana mahar kebahagiaannya, 120 juta dari semua asetnya yang telah ia kumpulkan berpuluh-puluh tahun, kemudian 30 juta yang ia dapatkan dari tabungan istrinya, tabungan yang disimpan untuk keperluan lahiran anaknya.

Ia membeli jam tangan tersebut pagi-pagi sekali. Ia merasa bahwa menunggu sampai siang adalah menunda-nunda hasratnya untuk mendapatkan kebahagiaan. Ia sengaja ingin datang pagi untuk mengejutkan pacarnya itu.

Ia berjalan ke arah selatan. Menuju rumah putih tempat pacarnya tinggal. Kedatangannya kali ini adalah kedatangan yang tidak wajar. Ia memutuskan untuk mengunjungi rumah putih itu tanpa ada janji. Janji mereka sebenarnya siang, tapi laki-laki itu mendadak ingin berkunjung pagi-pagi sekali hanya sekedar memberi kejutan.

Sesampainya di depan rumah. Ia melihat motor yang pernah ia kasih kepada pacarnya itu, tetapi kabarnya telah dijual oleh karena kebutuhan kuliah. Namun aneh rasanya motor itu bisa mangkir di depan rumahnya lagi.

Di depan pintu, ia mendapati sandal laki-laki yang ia pernah berikan dua bulan lalu. Pacarnya pernah minta sandal PACHIRITO seharga 27 juta. Katanya, sandal itu untuk kado ulang tahun ayahnya yang ke-69.

Sangat aneh rasanya melihat kedua barang itu. Laki-laki itu mulai curiga, mungkin ada tamu lain di rumah ini, mungkin saja ayahnya, atau temannya, atau mungkin orang kenalannya.

Ia memutuskan untuk menerobos dari pintu samping, ia dapati wanita itu sedang bercumbu dengan laki-laki lain yang di lihat-lihat jauh lebih tampan darinya.

Wirosari, 4 Mei 2022 (Masih suasana lebaran – lebaran ketiga).

Post a Comment for "Cerpen 11: Seorang Laki-laki yang Berjalan ke Selatan"