CERPEN #1: Benar Pak, Aku Cuma Anak Setan!
“Kenapa kau hamili pelacur sampah itu? Kau ini aku didik dari kecil agar dapat menjadi laki-laki yang baik dan berbudi pekerti, tetapi kenapa kau balas bapakmu ini dengan kelakuan setan?” Bentak ayahku lagi.
Suara itu menggema di ruang tamu rumah. Di situ hanya ada empat orang. Aku, bapakku, ibuku yang menangis tanpa suara di sudut ruang tamu, dan adikku yang menolehkan kepalanya dari ruang tengah.
Mungkin benar kata bapak. Aku ini adalah anak setan. Kelakuanku juga kayak setan. Bodohnya aku menghamili anak orang. Aku pacaran dengan Siti sudah 4 tahun. Dikampungku, usia 18 tahun adalah usia perantauan. Anak-anak yang tak mau kuliah atau tak mampu membayar kuliah akan lebih memilih untuk merantau ke luar kota, bahkan sampai ke luar negeri dari pada harus sarapan omelan-omelan tetangga setiap hari. Dianggap pengangguran lah, joko nganggur lah, dan bla bla bla.
Salah satunya aku. Aku dari Jawa merantau ke Kalimantan untuk mencari emas bersama pak lek. Aku memutuskan LDR dengan Siti, tetanggaku sendiri. Dia bekerja di pabrik garmen asing yang berdiri kokoh di persawahan warga.
Pada suatu malam, sebelum aku berangkat ke Kalimantan, aku mengajak Siti jalan-jalan ke pasar malam. Aku menggandeng tangannya yang halus. Karena aku tak cukup uang kala itu, aku hanya mengajaknya mengobrol sembari melihat-lihat. Ia pun juga ikut asyik terbawa obrolan.
Sesekali aku menatap matanya yang bulat. Kemudian aku geser pandangan ke bawah, aku melihat hidungnya yang bangir. Bukan karena operasi plastik, tetapi memang keindahan alami yang diciptakan Tuhan untuknya. Kemudian aku geser pandanganku ke bawah hidungnya. Aku melihat bibirnya yang langsing. Merah pekat dan berkilau. Aku yakin itu ginco milik ibunya yang hanya dipakai ketika ke kondangan saja. Sebab, kesempatan wanita desa menjadi cantik adalah ketika ada acara penting-penting. Ketika tidak ada acara penting, mereka lebih memilih dandanan alami yang biasa tercerminkah ketika bangun tidur. Tak ada polesan apapun. Tak ada permak apapun.
“Siti, ikut abang ke sana yuk!” Ucapku sembari menunjuk rumah kosong di samping pasar malam. Dan aku pikir, ini bukan hatiku yang berbicara, tetapi mulut setan yang biasa ayah kirimkan kepadaku. Setiap aku melakukan kesalahan, ayah selalu memarahiku dan menyamakan aku dengan “setan”.
“Mau ngapain bang?” Jawab siti dengan heran. Tanpa basa-basi, aku menarik lengannya dengan halus. Aku rayu dia dengan senyuman. Aku tusuk dia dengan tatapan lancipku. Karena salah satu alasan dia mencintaiku adalah wajahku sendiri, yang bisa ia pamerkan kepada teman-temannya kalau ia punya kawan laki-laki tampan.
“Ayolah., aku ingin ngomong sesuatu. Nggak enak kalau tempatnya rame kayak gini..”
Aku mojok dengannya. Kami duduk di kursi semen depan rumah kosong. Aku ajak dia duduk di dekatku. Aku memegang pundaknya. Dan saat itulah, aku berbicara layaknya laki-laki dewasa. Meyakinkan dia bahwa aku adalah laki-laki yang layak melakukan apapun kepadanya. Mungkin saat itulah, setan yang dikirimkan ayah berdatangan. Mereka ikut membantuku membujuk siti agar mau diajak untuk melakukan esek-esek (hubungan intim).
Sekali lagi aku yakinkan kepadanya bahwa aku akan pergi merantau. Perbuatan (esek-esek) inilah salah satu solusi ikatan kita. Aku takut selama merantau, dia akan berpaling kepada laki-laki perantauan lain yang sudah berhasil mewujudkan kreditan motor Ninja. Karena di desaku, perempuan akan sayang terhadap laki-laki yang bawanya motor Ninja. Bukan sayang kepada laki-lakinya, tetapi kepada motornya.
Dia menggigit bibir, “Tapi bang, Siti takut. Siti takut emak dan babak. Bagaimana kalau nanti siti hamil? Malu aku bang,” gumamnya sembari meneruskan menggigit bibir.
“ Ayolah siti, abang akan tanggung jawab. Abang janji, setelah merantau nanti, abang akan lamar siti. Setelah ada uang nanti, abang akan nikahi rumah.” Bujukku kepadanya. Salah, maksudku bujuk setan yang ada dikepalaku.
Dan akhirnya, setanlah setan berhasil merasuki kami. Hormon keremajaan kami tergugah. Nafsu kami membara. Setan pun berpesta ketika kecelakaan kami terjadi. Aku menodai Siti. Kami sedikit canggung setelah itu. Siti yang awalnya ikut menikmati, sekarang malah seperti kebingungan. Aku lihat matanya menafsirkan ketakutan. Aku pun juga demikian. Aku merasa takut dan bersalah.
Setelah kecelakaan ini, aku meyakinkan siti kembali, “Jangan takut Siti, abang akan tanggung jawab. Anggap saja ini sebuah ikatan yang dapat menjaga kita dari jarak. Meskipun kita akan berpisah cukup lama, aku akan kembali membawa uang dan menikahimu,” ucapku lagi sembari meyakinkan dia agar tidak ketakutan.
Tibalah hari aku pergi merantau. Enam bulan berlalu. Ayah meneleponku dengan nada tegas dan kaku. Aku disuruh pulan tanpa alasan apapun. Ia mentransfer uang untuk tiket kepulanganku. Dan aku yakin, ayahku tidak sekaya itu. Dia mungkin menjual beras atau jagung dari bagi hasil panen sawah majikannya. Jika demikian, mungkin ayah benar-benar ingin aku pulang.
Sesampai di rumah, aku tidak diizinkan beristirahat. Diruang tamu ternyata sudah ada ibu dan ayah, sedangkan adikku sedang mengaji diruang tengah.
Aku masuk lewat pintu sembari salam. Tiba-tiba kerahku di genggam, erat sekali. Aku ditarik duduk menghadap ayah. Tanpa menjawab salam tanpa senyum, ibuku terpaku diam menatapku sambil mengeluarkan air mata di sudut-sudut matanya.
Perasaanku campur aduk. Aku sedih melihat ibu sedih, aku takut melihat ayah marah.
“Dasar anak setan!!” Bentak ayah.
“Kau tau, apa yang telah kau perbuat?” Tanya ayah. Aku sempat bingung. Kala itu, tak terlintas sedikitpun apa yang aku lakukan terhadap Siti enam bulan lalu.
“Kenapa kau hamili pelacur itu?” Sambung ayah. Dari sini aku baru ingat. Aku telah menghamili anak perempuan tetanggaku sendiri enam bulan lalu.
Aku tak menjawab apapun. Aku hanya menunduk sembari menunggu pukulan atau hujatan apapun yang kuterima dari ayah.
Ternyata 3 hari lalu orang tua Siti datang ke rumahku. Mereka menjelaskan secara detail hubunganku dengan Siti. Untuk meredam amarah dari dua belah pihak, terwujudlah kata mufakat mengenai tanggal pernikahanku dengan Siti. Siti harus segera dinikahi sebelum perutnya membuncit. Sebab, apabila itu terjadi, wartawan kelas sayuran, yaitu jamaah ibu-ibu rumpi di lokasi pedagang sayuran akan ambisius. Mereka akan menyebarkan berita-berita viral yang dapat mengobar-ngobarkan gairah. Terlebih, ini adalah berita kecelakaan. Berita yang dapat trending hanya dalam beberapa menit saja ketika pedagang sayuran mulai duduk (mulai jualan) sampai beranjak pergi (pulang).
Ayahku tahu. Ini adalah keputusan yang sulit. Tetapi tanggal pernikahan harus tetap di tentukan. Hal ini juga untuk meredam amarah pihak keluarga Siti. Dalam kecelakaan, yang paling berat menanggung adalah pihak perempuan, mereka secara mendadak harus mulai menabung untuk biaya pernikahan anaknya. Bagi mereka yang pas-pasan, kasus seperti adalah siksaan bak badai yang menerpa kapal tanpa dayung. Yang tak punya apa-apa akhirnya mengais hutang, meminjam ke kerabat, menggadaikan sertifikat tanah dan apabila sudah terlalu malu, mereka akan rela menjualnya.
“Kau bilang sama pak lekmu kalau kau tak perlu balik lagi ke Kalimantan. Kau akan kunikahkan dengan Siti. Setelah itu, keluarlah dari rumah ini. Cari pekerjaan sendiri. Cari makan sendiri!”
Aku hanya bisa pasrah mendengar suaranya. Ia benar-benar ingin aku membayar akibat dari apa yang kubuat. Aku melirik adikku di ruang tengah. “Sudah enam bulan kita tak bertemu dek. Kau sudah pintar mengaji rupanya,” gumamku dalam hati sembari tersenyum tipis.
“Kelak jangan tiru kakak dek. Kakak adalah setan. Sebagaimana apa yang selama ini bapak doakan kepada kakakmu ini,” gumamku lagi.
“Kelak jangan tiru kakak dek. Istri kakak adalah pelacur. Sebagaimana apa yang selama ini bapak doakan kakakmu ini,” gumamku lagi.
Wirosari, Mei 2020
Post a Comment for "CERPEN #1: Benar Pak, Aku Cuma Anak Setan!"